Jumat, 29 Mei 2009

Interaksi Sosial Umat Beragama di Pulau Enggano

A. Pendahuluan
Secara normatif-doktriner, setiap agama selalu mengajarkan kebaikan, cinta-kasih dan kerukunan. Akan tetapi, dalam kenyataan sosiologis, agama justru sering memperlihatkan wajah konflik yang tak kujung reda, ketegangan dan kerusuhan. Sebagai contoh adalah konflik di beberapa daerah di Indonesia seperti di Kupang, Ambon dan beberapa daerah lainnya, yang mengakibatkan kerugian yang besar baik berupa material maupun nyawa, moral dan immaterial yang dipicu oleh komunitas antarumat beragama. Kondisi ini dilatar belakangi karena kurangnya interaksi sosial, sehingga tidak ada komunikasi yang menyebabkan salah sangka terhadap orang lain.

Kehidupan beragama di pulau Enggano misalnya. Meskipun kondisi masyarakatnya tergolong masyarakat terasing, terisolir atau terpencil di antara daerah di Indonesia. Pulau Enggano adalah salah satu daerah yang terletak paling selatan di antara pulau-pulau yang berada di sebelah Barat pulau Sumatera, yang berjarak 90 mil dari ibukota propinsi Bengkulu. Kehidupan masyarakat pulau Enggano berpedoman kepada sistem nilai-nilai budaya warisan nenek moyangnya, seperti kelompok-kelompok suku bangsa, sistem perkawinan adat, sistem kepemimpinan tradisional, pola pemukiman tradisional dan sistem kemasyarakatan. Dewasa ini sistem-sistem tersebut masih terpelihara, dipertahankan dan dijadikan landasan sosial bagi kehidupan antarumat beragama.

B. Latar Belakang Interaksi Sosial Antarumat Beragama
1. Sistem pekerabatan
Sistem kekerabatan di dalam suku bangsa Enggano adalah hubungan saudara antara individu baik dalam satu kaudara, ma’aoa maupun desa yang diikat dengan kesadaran akan nenek moyang yang sama, keturunan dan perkawinan. Karena itu, orang Enggano memiliki kebiasan untuk mengatakan bahwa orang-orang yang berada di pulau ini adalah seluruhnya bersaudara.

2. Sistem perkawinan
Perkawinan orang Enggano didasarkan pada adat dan agama. Perkawinan yang ideal bagi orang Enggano adalah eksogami klen kecil (antar kerabat).
3. Pola pemukiman tradisonal
Pola pemukiman tradisional suku Enggano merupakan kesatuan teritorial dari bentuk terkecil sampai bentuk terbesar, dengan urutan sebagai berikut: kaudara, anai’ya dan ma’aoa. Sebagaimana tampak dalam bagan di bawah ini:
Kaudura adalah beberapa keluarga inti yang lokasi tempat tingalnya berdekatan membentuk satu wilayah pemukiman sendiri. Anai’ya adalah kesatuan wilayah pemukiman yang terdiri dari 2-3 kaudara, yang lokasinya berdekatan. Adanya anai’ya ditujukan untuk menggalang kerjasama antara sesama warga kaudara yang lebih menitikberatkan pada masalah tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari. Ma’aoa adalah kesatuan wilayah pemukiman yang terdiri dari 2-7 anai’ya, yang lokasinya berdekatan. Adanya ma’aoa ditujukan untuk menggalang kerjasama antara sesama para warga suku bangsa.


4. Sistem kepemimpinan tradisional
Pada masa kolonialisme Belanda seorang pemimpin di dalam suku bangsa Enggano disebut kahai yamunya, yang dipilih dari kelima Paabuki Pada masa pasca kolonialisme Belanda, pimpinan kahai yamuiya diganti oleh seorang Paabuki. Jabatan Paabuki ini ditunjuk melalui musyawarah suku bangsa. Paabuki ini dibantu oleh ekap’u, yang bertanggung jawab terhadap segala urusan yang menyangkut kepentingan warga suku bangsa. Selain itu, Paabuki dibantu oleh seorang orai, yang bertugas mengawasi semua urusan keungan dan barang yang diperoleh dari denda adat.

5. Sistem kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan Enggano dilandasi oleh gotong-royong dalam kebutuhan sehari-hari.

C. Landasan Interaksi Sosial Antarumat Beragama
Interaksi sosial antarumat beragama dilandaskan pada hukum adat, meskipun ada hukum negara dan hukum agama. Hukum adat diberlakukan untuk semua orang yang menetap di pulau Enggano. Hukum adat telah ditetapkan oleh nenek moyang dahulu dan selalu digunakan sebagai pedoman untuk menyelesaikan setiap sengketa antarwarga suku bangsa.

D. Model Interaksi Sosial Antarumat Beragama
Masyarakat pulau Enggano tergolong masyarakat petani dan nelayan yang masih tradisional. Masyarakat hidup membaur dalam pluralitas etnis suku bangsa, sosial dan agama. Secara historis kehidupan masyarakat ini belum pernah mengalami konflik antarumat beragama, kecuali masalah kriminal biasa. Karena, para penganut agama yang berbeda tidak pernah mempersoalkan masalah perbedaan baik masalah sosial, ekonomi maupun agama.


Beberapa faktor pendorong yang mewujudkan interaksi sosial
 Faktor tradisi
 Faktor kekerabatan antarsuku bangsa
 Faktor misi dakwah
 Faktor kerjasama antartokoh agama
 Ada persepsi antarumat agama

Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulakan bahwa faktor yang melatarbelakangi penyelesaian sengketa tersebut melalui pranata perdamaian (yahauwa), yaitu karena kehidupan suku-suku bangsa Enggano memiliki nilai-nilai kebudayaannya yang terumuskan ke dalam struktur sosial dan organisasi sosial yang berkaitan dengan identifikasi masyarakat, sistem kekerabatan, sistem kepemimpinan tradisional dan sistem masyarakat paguyuban.

Sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat Enggano adalah hukum adat, walaupun masih ada hukum negara dan hukum agama. Hukum adat ini diberlakukan untuk semua orang yang menetap di pulau Enggano.

Akhirnya, sebagai saran dalam rangka pembangunan hukum pada kodifikasi dan pembentukan hukum baru yang sesuai dengan tujuan hukum ini diperlukan adanya kepastian ketertiban dan keadilan. Di samping, kita mempertimbangkan situasi dan kondisi pulau Enggano yang masyarakatnya miskin di daerah terpencil dan terisolasi di sebelah Barat pulau Sumatera serta samudra Hindia yang terkenal ombaknya besar dan tidak menentu cuacanya. Oleh karena itu, aturan-aturan hukum adat dan nilai-nilai budaya yang berlaku dapat dijadikan sumber hukum dalam penyelesaian sengketa melalui pranata perdamaian adat untuk memelihara ketertiban dan ketahanan masyarakat, sehinga perlu dipelihara dan dilestarikan budaya.

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial itu sangat penting. Dengan adanya interaksi sosial maka mecirikan adanya suatu komun ikasi. Sehingga tidak akan ada salah sangka, permasalahan yang ada dihadapi dengan baik dan diselesaikan secara kekeluargaan sesuai hukum yang berlaku. Dari kejdian diatas tentang masyarakat enggano maka menurut Gillin dan gilllin ada empatproses yag timbul akibat adanya interaksi sosial, yaitu:
1) akomodasi
2) asimilasi dan akulturasi
3) persaingan
4) kontroversi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar